Rabu, 29 April 2009

Aplikasi Open Source Pada Dunia Pendidikan Indonesia

Resesi global yang sedang terjadi sekarang ini telah mempengaruhi berbagai organisasi baik organisasi bersifat profit oriented maupun non profit. Kondisi perekonomian yang terjadi memang paling berpengaruh untuk organisasi bersifat profit oriented, tetapi bagi organisasi yang bersifat non-profit pemotongan biaya tetap banyak dilakukan untuk mengimbangi kenaikan harga yang terjadi seperti di Indonesia yang diakibatkan oleh salah satunya penurunan nilai tukar rupiah.

Apabila dicermati dari sudut pandang teknologi informasi,di era kompetisi global seperti sekarang ini, sistem informasi adalah salah satu bagian dari tulang punggung korporat, yang bisa menjadi salah satu ukuran kompetitif atau tidaknya sebuah perusahaan. Begitu vitalnya jaringan komputer ini, sehingga kegagalannya akan berakibat hilangnya produktivitas serta kerugian finansial. Oleh karena itu, perusahaan yang ingin tetap kompetitif menginginkan sebuah sistem informasi yang dapat diandalkan, serta mampu bekerja optimal dengan tingkat kegagalan serendah mungkin ditambah memiliki biaya kepemilikan total (instalasi dan perawatan) yang rendah sehubungan dengan adanya pemotongan anggaran untuk kebutuhan ini. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan yang mulai mencari solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan sistem informasi mereka.Dengan pertimbangan hal tersebut, kini banyak organisasi yang mulai melakukan aplikasi sistem berbasis open source, karena open source (OSS) menyediakan berbagai aplikasi yang ditawarkan dengan harga murah bahkan tidak jarang gratis, dan dapat dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan perusahaan karena terbukanya kode dalam software yang dapat dirubah, dan membuka kesempatan untuk mengembangkan aplikasi yang dilakukan bersama-sama dengan komunitas yang juga pastinya akan mengurangi biaya IT dari perusahaan tersebut. Penghematan biaya akan sangat dirasakan oleh perusahaan dengan kebutuhan IT yang kompleks. Sebagai contoh kasus dari Sun Microsystem yang dapat dikatakan merupakan perusahaan penyumbang kode Open Source terbesar. Misalkan, ada sebuah perusahaan, dengan kira-kira 1000 pegawai, menjalankan bisnisnya dengan 20 dual-core server aplikasi dan 10 dual-core server basis data. Jika perusahaan tersebut menggunakan aplikasi proprietary (dalam hal ini WebLogic Enterprise & Oracle Enterprise), maka perusahaan tersebut akan mengeluarkan dana sebesar U$3,237,000 selama 3 tahun. Sedangkan jika perusahaan mengunakan aplikasi Open Source (dalam hal ini Glassfish Enterprise Server & MySQL Enterprise Gold), maka perusahaan tersebut hanya akan mengeluarkan dana sebesar US$240,000. Detail perhitungan dapat di lihat di sini. Beberapa perusahaan Indonesia yang telah memulai aplikasi sistem informasi berbasis Open Source diantaranya adalah PT. Telkom dan Kompas.

Open Source dan Dunia Pendidikan
Untuk melakukan aplikasi sistem Open Source maka organisasi perlu mempersiapkan sumber daya manusia yang siap untuk melakukan perubahan. Dengan kesiapan sumber daya manusia yang dimiliki dan dukungan komunitas, maka organisasi akan semakin terbebas dari ketergantungan terhadap vendor tertentu dan dapat terus menerus memperbaiki sistem informasi yang dimiliki. Untuk kebutuhan persiapan sumber daya manusia ini sebenarnya dapat dimulai dari institusi pendidikan.

Solusi sistem informasi berbasis Open Source seharusnya mulai diperkenalkan pada akademisi, pelajar, dan mahasiswa (under-graduate maupun post-graduate) agar individu-individu tersebut memasuki sebuah organisasi yang mengaplikasikan sistem berbasis Open Source, mereka telah memiliki bekal yang cukup. Pengenalan Open Source di dunia pendidikan juga sejalan dengan deklarasi Indonesia Goes Open Source (IGOS) yang dideklarasikan pada 30 Juni 2004. IGOS adalah keputusan strategis di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dari pemerintah Republik Indonesia melalui lembaga-lembaga terkait yang ditandatangani oleh : Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Pendidikan Nasional. IGOS adalah sebuah gerakan nasional yang dicanangkan oleh pemerintah, yang merupakan sebuah ajakan untuk mengadopsi Open Source di lingkungan pemerintah. Meskipun hanya ditandatangani oleh lima kementrian dan departemen, namun implementasinya didukung luas oleh lembaga-lembaga dan departemen lain misalnya Departemen Tenaga Kerja, Depdiknas dan Presiden sendiri, dengan membentuk Dewan TIK Nasional (DeTIKNas) sebagai penasihat presiden dalam urusan dan keputusan terkait Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia. Deklarasi IGOS bertujuan agar bangsa Indonesia dapat membangun aplikasi peranti lunak komputer yang berkode sumber terbuka, membuat bangsa Indonesia dapat dengan mudah merancang, membuat, merekayasa dan menjual produk intelektual dengan mudah, murah dan tidak tergantung kepada pihak-pihak tertentu yang sewaktu-waktu dapat memaksakan kepentingan terkait dengan kebutuhan dukungan terhadap produk.

Ada dua implikasi dari deklarasi IGOS ini bagi dunia pendidikan. Pertama, dilihat dari ditandatanganinya Deklarasi oleh Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu, secara internal menjadikan Open Source menjadi pilihan bagi departemen terkait. Sedangkan secara eksternal, memberikan perintah tidak langsung bahwa dunia pendidikan sudah menerima Open Source menjadi pilihan sistem operasi maupun aplikasi sehar-hari. Kedua, sektor pendidikan yang sudah stabil mendorong aktivitas pembelajaran, riset dan kemungkinan untuk melakukan migrasi ke Linux. Mulai dari kurikulum perguruan tinggi, mulai dirombak dan didasari oleh dasar kurikulum TIK yang open source, kalau tidak dapat disebut bebas dari pengaruh sistem operasi tertentu. Hingga kegeliat sektor swasta dalam rangka memenuhi kebutuhan SDM TIK berbasis Linux/FOSS. Muncul dan kian berkembang lembaga-lembaga training komputer yang memfokuskan diri dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang diperlukan dalam rangka pemenuhan SDM yang memiliki kompetensi dalam bidang TIK yang dibutuhkan.

Selain untuk mempersiapkaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan bersaing, pengenalan Open Source pada masyarakat terutama di dunia pendidikan dapat mengurangi pembajakan yang terjadi di Indonesia yang dikatakan merugikan negara sampai $3 juta (detik.com).


Resistensi Open Source Pada Dunia Pendidikan

Yang banyak terjadi di lingkungan pendidikan adalah terjebaknya para pendidik dan siswa/mahasiswa kepada suatu 'produk software' yang terlanjur mendominasi pasar, tidak kepada substansi dasar pendidikan itu sendiri. Jebakan yang paling parah adalah ketika civitas dunia pendidikan mulai menggunakan software ilegal dan akhirnya merasa bahwa hal itu adalah hal yang lumrah padahal itu merupakan hal yang sangat memalukan apalagi di lingkungan pendidikan. Seharusnya di lingkungan pendidikan terjadi apresiasi yang cukup baik terhadap karya intelektual, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.

Proses melakukan copy software dengan copyright secara ilegal yang terjadi di kalangan pendidikan bukan tidak mungkin karena para dosen/guru justru dengan sengaja atau tidak sengaja mengarahkan para siswa/mahasiswa untuk melakukan pembajakan software. Penetapan kurikulum mata kuliah yang menjurus kepada suatu produk komersial misalnya, (yang memiliki standar harga tinggi untuk kebanyakan orang) juga bisa menjadi pemicu terjadinya pembajakan software.

Mitos yang mendasari penolakan penggunaan Open Source seperti yang dikemukakan oleh Menristek Kusmayanto Kadiman adalah :
Pertama, open source dianggap hanya layak digunakan oleh pakar TI, dan kebiasaan serta pengetahuan yang dimiliki mengenai software propietary dirasa sudah cukup untuk melakukan tugas sehingga tidak perlu melakukan proses pembelajaran ulang untuk sebuah sistem baru tanpa mempertimbangkan manfaat yang akan didapat dengan pembelajaran tersebut.
Kedua, masih banyak kalangan pebisnis yang mempertanyakan keuntungan dari Open Source. Dengan adanya mitos tersebut, menyebabkan penolakan pada dunia pendidikan karena ditakutkan bahwa output dari dunia pendidikan akan menjadi tidak laku di pasar.
Ketiga, masih banyak orang pesimistis terhadap dukungan untuk Open Source, misalnya ketersediaan aplikasi dan hardware yang mendukung. Pada dunia pendidikan muncul anggapan bahwa distro-distro yang ada belum memasukkan paket-paket aplikasi pendidikan.

Mitos-mitos di atas sebenarnya dapat dipatahkan dengan melihat beberapa fakta yang ada, yaitu :
Berdasarkan penelitian Ghosh et al (2002) persentasi terbesar dari anggota komunitas Open Source berasal dari rentang umur 10-25 tahun dengan 75,1%. Memang ketika dilihat dari profesi pengguna Open Source masih dikuasai oleh para pakar IT, tetapi pelajar masuk pada peringkat kedua dengan 15,8%.Hal ini menunjukan bahwa pendidikan Open Source dapat dilakukan sejak dini dan pada usia pendidikan formal mulai SD, SMP, SMA, dan Mahasiswa. Open Source tidak hanya melulu milik para pakar IT.



Dengan pertumbuhan kebutuhan sistem informasi saat ini dan terjadinya resesi global, memaksa banyak perusahaan untuk mencari solusi alternatif. Salah satu opsi dari solusi alternatif itu merupakan aplikasi Open Source. Maka akan muncul permintaan dari pasar tenaga kerja untuk ketrampilan dan pengetahuan mengenai Open Source. Ketrampilan dan pengetahuan Open Source dapat menjadi bekal untuk bersaing di dunia kerja karena sumber daya manusia dengan bekal pengetahuan Open Source termasuk dalam 12 kebutuhan IT yang paling dicari.
Kebutuhan Open Source untuk dunia pendidikan saat ini sudah diakomodir dengan adanya distro Linux yang memaketkan aplikasi pendidikan pada sistem operasi mereka. Salah satu contohnya adalah Edubuntu (http://edubuntu.org) yang merupakan produk turunan dari Ubuntu Linux dengan paket aplikasi yang disesuaikan untuk kebutuhan pendidikan mulai dari game untuk TK, hingga kebutuhan aplikasi pengolah data untuk Mahasiswa.

Dukungan yang diberikan oleh Open Source untuk para penggunanya juga dapat diperoleh dengan mudah dengan memanfaatkan dukungan formal dari distro besar (Ubuntu, Debian, Red Hat, dll) dan dukungan dari komunitas pengguna Open Source. Selain itu juga ada support dari beberapa distro linux yang menyediakan program partner untuk kalangan pendidikan, seperti yang ditawarkan Canonical. Dukungan hardware Open Source dapat dilihat dari dukungan Linux terhadap hardware yang beredar di pasaran saat ini. Kemampuan dukungan Linux terhadap hardware tersebut memudahkan pengguna untuk melakukan aplikasi Linux secara luas pada PC.

Penggunaan Open Source Pada Dunia Pendidikan

Kemampuan sistem Open Source yang sangat terbuka untuk dikembangkan memiliki potensi yang sangat besar dalam pemanfaatan secara luas. Dunia pendidikan di Indonesia seharusnya mulai mempertimbangkan pengenalan dan penggunaan Open Source secara komprehensif pada seluruh fungsi yang layak untuk menggunakan aplikasi Open Source.

Sistem berbasis Open Source dapat digunakan dalam berbagai macam fungsi yang ada di dunia pendidikan. Untuk Administasi dan operasional lembaga pendidikan, Open Source dapat digunakan sebagai basis pembangunan sistem jaringan sehingga akan menghemat biaya IT. Untuk kebutuhan belajar mengajar, Open Source dapat dipergunakan sebagai sarana praktek operasional sistem informasi dan pembelajaran mengenai cara kerja sistem informasi dengan berbagai cara. Open Source juga dapat berguna sebagai bahan penelitian untuk mengembangkan sebuah aplikasi yang kemudian dapat digunakan untuk masyarakat umum sehingga penggunaan Open Source pada dunia pendidikan akan menguntungkan banyak pihak. Selain itu dengan semakin banyak digunakannya Open Source maka dukungan terhadap pengguna Open Source yang tersedia juga akan semakin banyak. Indonesia masih menduduki peringkat ke 131 di dunia untuk pengguna Open Source dan akan segera disusul oleh Guyana berdasarkan data statistik dari http://counter.li.org/reports/place.php?place=ID. Sehingga upaya memasyarakatkan Open Source harus legih digalakan untuk mendukung program IGOS, dan support dari kalangan pendidikan sangat dibutuhkan.



Transisi ke sistem berbasis Open Source harus direncanakan dengan baik agar dapat mengantisipasi semua kemungkinan yang akan terjadi. Hal ini dilakukan untuk mencegah penolakan penerapan sistem berbasis Open Source secara lebih kuat karena kegagalan sistem pada awal aplikasi yang disebabkan persiapan yang tidak baik. Selain itu untuk aplikasi sisteem Open Source sebaiknya dimulai dari level server disertai pengenalan dan pendidikan mengenai sistem berbasis Open Source termasuk aplikasi yang digunakan. Untuk kebutuhan belajar mengajar, peserta didik seharusnya dikenalkan secara lebih dekat dengan pemberian materi tentang Open Source, melibatkan dengan praktek langsung penggunaan Open Source dan proyek Open Source yang dilakukan. Transisi ini harus dilakukan dengan komitmen penuh dari seluruh pihak yang terlibat.

Manfaat Open Source Pada Dunia Pendidikan

Penggunaan sistem berbasis Open Source pada dunia pendidikan akan memberikan manfaat bagi banyak pihak. Manfaat yang dijanjikan oleh Open Source adalah :
1.Memberikan alternative pilihan software desktop yg murah
2.Meningkatkan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang teknologi informasi
3.Memperkecil kesenjangan teknologi informasi
4.Meningkatkan akses informasi masyarakat
5.Meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan dan memanfaatkan informasi teknologi (kreativitas tidak dibatasi oleh software yg ada).
6.Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia bidang teknologi informasi (di perguruan tinggi, sekolah, dan masyarakat)
Aplikasi sistem berbasis Open Source memang sudah saatnya dipertimbangkan. Dimulai dari dunia pendidikan, diharapkan akan memasyarakatkan Open Source agar tidak terjadi ketergantungan dengan suatu vendor tertentu. Selain itu manfaat pemasyarakatan Open Source yang lain adalah memunculkan sumber daya manusia yang lebih siap dalam menghadapi persaingan global, mengurangi pembajakan, menciptakan lapangan pekerjaan dan menghemat pengeluaran negara.

Referensi

http://anggriawan.web.id/2008/11/open-source-solusi-di-masa-krisis.html
http://counter.li.org/reports/place.php?place=ID
http://edubuntu.org
http://rahard.wordpress.com/author/rahard/
http://sewukata.wordpress.com/2008/10/22/perusahaan-open-source-yang-sukses/
http://unggulo.wordpress.com/2008/12/16/deklarasi-indonesia-go-open-source-igos-dan-implikasinya-di-bidang-pendidikan/
http://www.sun.com/software/products/mysql/popup.jsp?info=1
Sowe, Sulayman K. (2002). Emerging Free/Open Source Software Practices: Implications for Business and Education .Aristotle University

Selasa, 03 Februari 2009

Eliminate the Middleman

USTech merupakan sebuah perusahaan produsen produk elektronik dengan pangsa pasar beberapa negara di US dan Eropa. Produk yang diproduksi merupakan produk dengan kategori mid-level brand. USTech memakai jasa perusahaan lain untuk melakukan design produk. Perusahaan yang dipercaya sebagai original design manufacturer adalah TaiSource yang berpusat di Taiwan. Dalam proses kerjasamanya ternyata muncul permasalahan pada saat Joe Lin dari TaiSource memperkenalkan May Wang yang ditunjuk sebagai Chief Marketing Officer TaiSource. Chief Global Sourcing Officer USTech khawatir bahwa TaiSource akan menciptakan brand sendiri dengan bermodalkan pengalaman kerjasama dengan USTech.

Greg Jamison dan USTech Senior Vice President Dan Rollins yang melakukan kunjungan ke pabrik TaiSource di Taiwan terkejut bahwa TaiSource ternyata memiliki Divisi Sales & Marketing sendiri dan telah membangun dua pabrik yang berlokasi di Beijing dan Shanghai, yang dikhawatirkan akan memperburuk hubungan kedua perusahaan.

Atas dasar perkembangan fenomena yang terjadi pada kerjasama dengan TaiSource, USTech mulai mempertimbangkan untuk merancang pabrik sendiri di China yang berbiaya rendah, yang sudah dilakukan oleh para pesaingnya seperti CaliTech dan TexaTech juga telah memulai pabrik mereka di China.

1.Identifikasi Biaya dan Manfaat Sourcing Strategy oleh USTech
Melihat dari kerjasama antara USTech dengan TaiSource yang selama ini telah terjalin, USTech beruntung memiliki rekanan seperti TaiSource karena TaiSource merupakan perusahaan world-class research and design serta salah satu perusahaan Taiwan dengan customer terbesar. Manfaat dari USTech apabila dilihat dari segi non-monetery yaitu lebih menghemat dari sisi waktu dibandingkan apabila USTech harus mendesain dan memproduksi sendiri dimana selama ini TaiSource telah memberikan produk yang memiliki desain produk dengan kelas dunia.
Dari segi biaya USTech lebih diuntungkan dengan mengurangi biaya dalam pembuatan design yang dijalankan oleh TaiSource selain itu USTech tidak membutuhkan Divisi R&D yang menyebabkan biaya mereka semakin besar.
Menurut kelompok kami penurunan market share USTech yang terjadi salah satunya lebih disebabkan oleh kedua pesaing utamanya, yaitu CaliTech dan TexaTech lebih memiliki desain inovatif. Selain itu, kedua perusahaan tersebut juga telah membangun pabriknya di China. CFO USTech memperhitungkan bahwa kedua perusahaan pesaing tersebut dapat memotong biaya mereka hingga 20% di China, dimana biaya labor yang cukup rendah dan didukung oleh kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan perusahaan seperti Lenovo, BenQ, ataupun Lite-On hanya mempunyai biaya tenaga kerja, listrik, pajak hanya 5% dari total biaya produksi mereka.
Dari keuntungan diatas, USTech sebenarnya dapat membangun pabrik di China atau tetap bekerjasama dengan TaiSource yang telah terlebih dahulu membangun pabriknya di China untuk mengantisipasi indirect cost. Sehingga apabila, USTech tetap bekerjasama dengan TaiSource yang telah membangun pabriknya di Beijing, ada kemungkinan USTech dapat merebut pangsa pasarnya kembali.

2.Permasalahan Produksi dan Pemasaran TaiSource
Background dari Taisource yang merupakan perusahaan Original Design Manufacturer (ODM) yang mempunyai keunggulan dalam desain produk dengan low cost, telah menyebabkan USTech untuk mempertimbangkan kembali jika akan memutuskan hubungan dengan Taisource.
Sebenarnya dengan kemampuan serta pengalaman yang mereka peroleh dari kerjasama dengan UStech, Taisource bias saja dapat membangun brand dengan menggunakan namanya sendiri. Hal itu ditambah dengan dibangunnya dua buah pabrik di Beijing dan Shanghai yang dapat membuat biaya produksi lebih murah, selain itu dengan dibentuknya divisi marketing yang mempermudah dalam hal promosi produk perusahaan kepada konsumen.
Tetapi di sisi lain penciptaan brand juga membutuhkan biaya yang tidak murah juga, yang akan menyebabkan biaya menjadi lebih tinggi. Mulai dari biaya promosi, produksi, hingga hidden cost yang menyebabkan TaiSource harus lebih hati-hati jika ingin mempunyai brand sendiri. Apalagi, Taisource juga belum memiliki kekuatan baik nama maupun strategi yang dapat mempermudah mereka meraih pasar jika bersaing dengan pemain-pemain yang sudah ada di pasaran.
Jadi, kelompok kami menyimpulkan bahwa Taisource tetap melakukan kerjasama dengan USTech. Karena dengan melakukan strategi partnership seperti ini, kedua perusahaan dapat saling mendukung dan saling menguntungkan.

3.Penurunan Market Share dengan pengembangan Mid-Level Brand
Mennciptakan suatu produk baru dengan kondisi yang sedang dialami oleh USTech dapat dikatakan merupakan suatu celah serta peluang yang potensial. Akan tetapi hal ini harus diperhatikan juga strategi-strategi yang akan dijalankan. Pada artikel yang ada bahwa TaiSource sebagai supplier dari USTech akan mengembangkan 3 strategi sebagai bentuk dari ekspansi perusahaan yaitu :
a.Mengembangkan produksi dengan basis ke kawasan Cina yang lain, dimana hal ini akan lebih menghemat biaya dari economic of scale untuk pembelian bahan baku dan biaya produksi.
b.Mendirikan R&D officer di U.S. yang mengakibatkan hubungan antara USTech lebih dekat sehingga TaiSource lebih mudah dan cepat menangkap keinginan dari USTech dalam pengembangan inovasi produk.
c.Akan mengembangkan ekspansi-ekspansi lain nantinya dalam hal pengiriman produk ke US warehouse sehingga dapat menghemat biaya logistic.
Melihat strategi yang akan dijalankan TaiSource tersebut maka menurut kami keinginan USTech untuk mengeluarkan suatu produk baru dengan kategori mid-level brand untuk pasar Cina telah mendapatkan suatu sinyal dan peluang yang sangat bagus. Alasan kedua adalah adanya faktor pendukung, yaitu jumlah penduduk China yang begitu besar. Pasar seperti ini sangat sayang apabila dilewatkan begitu saja. Kemudian, dengan jumlah penduduk yang besar itu pula, USTech dapat mengurangi labor cost untuk melekatkan harga yang lebih murah pada produknya. Jadi dengan biaya produksi yang murah di China dan kualitas TaiSource Taiwan akan menciptakan premium brand at a lower price seperti yang direncanakan USTech. USTech dapat optimis melihat pasar yang begitu besar menanti mereka. Ditambah lagi dengan biaya dan kualitas yang terjamin menguntungkan bagi perusahaan.

4.Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Bentuk Kerjasama
Rencana strategi yang akan TaiSource jalankan telah benar dengan membagi (split) pekerjaan di beberapa pabriknya, yaitu di Shanghai, Beijing, ataupun di Taiwan. Dengan demikian antara satu pabrik dengan pabrik yang lain tidak akan mengetahui secara “sempurna” apa yang mereka kerjakan (untuk apa produk yang mereka hasilkan). Serta USTech dapat mempatenkan produk mereka di US, China, ataupun Taiwan.
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan oleh USTech dalam menjalin hubungan dengan TaiSource. Antara lain USTech dapat mengakuisisi TaiSource, membangun pabrik sendiri, ataupun memilih supplier lain.
Pertama jika USTech memutuskan untuk membangun pabrik sendiri maka perusahaan akan menambah biaya untuk R&D dan produksi. Kedua, jika USTech berpindah pada supplier lain di China tentunya akan membuat posisi perusahaan semakin sulit dalam persaingan karena TaiSource sejauh ini masih menjadi supplier terbaik bagi perusahaan. Tidak ada yang dapat menjamin USTech bisa memperoleh supplier sebaik TaiSource apabila mereka memutuskan hubungan kerjanya dengan TaiSource.
Bentuk kerjasama yang tepat yang dapat dilakukan oleh USTech adalah dengan mengakuisisi TaiSource. Dengan demikian, TaiSource, mau tidak mau, akan menjadi satu dengan USTech dan tidak ada kekhawatiran bagi USTech akan kehilangan supplier terbaik mereka lagi serta dapat memperkuat posisi USTech dipasar dunia dengan kerjasama yang lebih solid.

Business Process Reengineering

Fenomena bisnis pada saat ini cenderung lebih melihat sebuah perusahaan dari sudut proses dibandingkan dari sudut fungsional. Sebuah proses bisnis terdiri dari beberapa fungsi aktivitas yang dijalankan menurut urutan tertentu yang mengubah informasi atau material ataupun keduanya. Dalam pelaksanaanya proses bisnis memerlukan sumber daya manusia, data, teknis dan sistem informasi. Masing-masing memerlukan serangkaian tugas dan memiliki sumber daya yang berbeda dalam bisnis tersebut. Proses bisnis mengharuskan kelompok atau departemen yang berbeda dan ada di dalam perusahaan berpartisipasi dalam tugas-tugas yang menentukan sebuah proses. Salah satu contoh dalam proses bisnis adalah pengembangan produk dari konsep sampai dengan pengenalan produk di pasar. Sebuah proses bisnis tidak selalu harus berakhir pada aktivitas akhir yang dilakukan oleh sebuah perusahaan.

Pada awalnya, kebanyakan perusahaan terstrukturisasi menjadi fungsi-fungsi tertentu, seperti departemen penjualan, pengadaan, produksi, keuangan, akuntansi, dll. Proses bisnis seringkali harus dilakukan dengan melibatkan banyak departemen, yang kemudian menyebabkan inefisiensi dari proses bisnis yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

Bisnis proses reengineering (BPR) dilakukan dengan tujuan merestrukturisasi organisasi menurut prinsip berorientasi pada proses. Dalam perkembangannya, pada tahun 70an dan 80an, perusahaan meningkatkan proses bisnis mereka dengan mengaplikasikan Just In Time (JIT) System dan Total Quality Management (TQM). Pada tahun 90an, perusahaan mencoba mengembangkan secara radikal proses bisnis mereka dengan bisnis proses reengineering (BPR).

Pada tahun 90an, Davenport & Short (1990) mengemukakan pendekatan baru pada manjemen proses, yaitu BPR. Ia mengemukakan BPR adalah pandangan akan sebuah strategi kerja baru, sebuah aktivitas nyata tentang desain proses, dan penerapannya pada dimensi tekhnologi manusia dan organisasi yang kompleks.

Salah satu faktor yang membantu dan mendorong proses perkembangan bisnis proses reengineering (BPR) adalah upaya standarisasi dari sebuah proses. Hal ini dapat dilihat dari berbagai standar manjemen proses yang diterapkan dalam dunia bisnis. Sebagai contoh: CMM, ISO, SixSigma, dll. Dengan munculnya standar manajemen proses yang secara universal diterima di berbagai bidang bisnis memungkinkan sebuah perusahaan yang berhasil menerapkan BPR secara efektif dan efisien memiliki kompetensi baru dengan menjual proses bisnis yang dimilikinya kepada pihak lain (outsource). Bagi perusahaan yang ingin fokus pada pengembangan proses bisnisnya dengan menitikberatkan pada core competency yang dimiliki, perusahaan dapat mengalihkan aktivitas non value added pada perusahaan lain sebagai pihak ketiga yang menyediakan sumber daya, sebagai contoh: recruitment. Proses ini dapat menjadi lebih mudah dengan adanya standar manajemen proses yang dapat memberikan kepastian pada pihak perusahaan yang memanfaatkan jasa outsourcing.

Untuk melakukan proses outsourcing dengan efektif, sebuah perusahaan perlu mempertimbangkan beberapa hal berikut diluar biaya:
1.Serangkaian aktivitas dan bagaimana aktivitas tersebut berjalan. Maka dari itu, perusahaan memerlukan standar dari aktivitas proses agar antara pihak penyedia dan perusahaan tersebut dapat berkomunikasi dengan mudah dan efisien tentang proses outsources.
2.Perangkat yang diperlukan untuk mengevaluasi sebuah proses adalah standar kinerja dari proses.
3.Perusahaan memerlukan standar manajemen proses yang mengindikasikan seberapa baik manjaemen proses yang mereka jalankan dapat diatur, diukur, dan apakah dilakukan peningkatan kualitas standar manajemen proses secara berkelanjutan.

Perkembangan teknologi termasuk menjadi salah satu faktor yang mendukung evolusi dari penerapan proses bisnis, termasuk bisnis proses reengineering (BPR), yang kemudian dikenal sebagai proses automatisasi. Automatisasi adalah sebuah rencana menggabungkan teknologi tinggi melalui perbaikan proses pelaksanaan pekerjaan demi meningkatkan produktivitas pekerjaan. Beberapa teknologi yang berperan besar pada implementasi BPR adalah:
1.Shared database – menyediakan informasi di banyak tempat (dalam hal ini departemen)
2.Expert system – memungkinkan generalisasi untuk melaksanakan tugas khusus
3.Telecommunication network – memungkinkan organisasi menjadi terintegrasi maupun terpisah dalam waktu yang sama
4.Decision-support tools – memungkinkan semua karyawan dapat terlibat dalam pembuatan keputusan
5.Wireless data communication – memungkinkan karyawan dapat bekerja secara flexible
Beberapa implementasi teknologi pada proses BPR memungkinkan sebuah proses bisnis dijalankan dengan lebih efektif dan efisien. Implementasi teknologi tersebut, berdampak langsung pada pemotongan biaya operasi, mempersingkat waktu proses, mengurangi pemakaian sumber daya, dan meningkatkan produktivitas.

Brand Equity Teh Botol Sosro

Merek dari Teh Botol Sosro merupakan sebuah contoh merek yang telah dikembangkan dan dipertahankan selama puluhan tahun. Bermula sebagai adopsi dari merek teh melati produksi keluarga Sosrodjojo, yang kemudian dikembangkan sehingga menjadi sebuah merek yang sangat dekat dengan pelanggan melalui strategi-strategi yang dilakukan. Hasil dari usaha itu adalah hingga kini Sosro menjadi pemimpin dalam kategori teh dalam botol, bahkan dapat bersaing dengan perusahaan multinasional yang ikut bermain dalam kategori ini.

Kekuatan merek yang dimiliki oleh Sosro merupakan hasil dari penerapan strategi yang baik dalam pembentukan merek. Hal ini dapat kita lihat dari langkah-langkah yang dilakukan PT. Sinar Sosro dalam mengembangkan merek Teh Botol Sosro, yaitu :

Pertama kali mengenalkan teh siap minum dalam kemasan botol, Sosro memiliki target pasar yang jelas, dengan target orang yang sedang melakukan perjalanan. Pada waktu itu, strategi promosi yang dilakukan juga baik dengan menetapkan harga tidak lebih dari biaya parkir pada waktu itu (mengingat target adalah orang yang sedang melakukan perjalanan). Pada waktu pengenalan produk, Sosro juga memiliki keunggulan kompetitif karena merupakan teh siap minum dalam kemasan botol yang dipasarkan pertama kali di Indonesia.

Sosro melakukan positioning dengan mengedukasi masyarakat agar tidak merasa aneh untuk meminum teh dalam kemasan botol dan dengan diasajikan dingin. Karena pada awal kemunculan produk, masyarakat Indonesia masih terbiasa untuk minum teh yang disajikan panas. Ternyata proses diferensiasi yang dilakukan Sosro membuahkan hasil baik, sehingga Sosro dikenal sebagai minuman teh dalam kemasan botol yang dapat memberikan kesegaran. Dalam perkembangannya, untuk bersaing dengan competitor Sosro mulai melakukan kampanye bahwa dengan mengkonsumsi teh akan membuat tubuh menjadi sehat, karena teh mengandung anti oksidan. Hal ini menambah keunggulan kompetitif dari Sosro.

Positioning yang dilakukan oleh Sosro juga didukung oleh marketing mix yang baik. Hal ini ditunjukan dari integrasi yang baik dari komponen-komponen 4P. Contoh adalah bahwa pengembangan produk berasal dari strategi promosi, hubungan antara penentuan harga (price) dengan saluran distribusi (place), dll.

Strategi penjualan yang dilakukan Sosro adalah dengan mengembangkan saluran distribusi secara luas dan terus menerus. Mengutamakan availability dan kualitas produk sehingga berbuah pada kesetiaan pelanggan.

Pengembangan proses yang dilakukan oleh Sosro adalah dengan mengintegrasikan supply chain, seperti memiliki kebun teh sendiri. berbeda dengan proses distribusi produk dilakukan dengan bekerja sama dengan banyak agen penjualan untuk memperluas cakupan distribusi dari Sosro
Brand Equity dari Sosro telah terbentuk melalui proses yang panjang. Sosro telah berhasil mengembangkan merek Teh Botol Sosro menjadi merek dengan brand equity yang kuat. Beberapa hal yang dapat dicermati dalam pembentukan brand equity ini adalah :

Brand Awareness yang dimiliki Teh Botol Sosro dapat dikatakan telah memasuki tingkatan top of mind. Hal ini dapat dilihat dari Teh Botol Sosro dapat menjadi pemimpin pasar dalam kategori teh siap minum dalam kemasan botol.

Perceived Quality dari Teh Botol Sosro telah terbukti selama puluhan tahun. PT. Sinar Sosro telah berhasil menjaga kualitas produk ini sehingga mendapat anggapan baik dari konsumen.

Brand Association dari Teh Botol Sosro kuat, dapat dilihat bahwa ketika orang menyebut teh botol kemudian yang menjadi maksud dari teh botol itu sendiri adalah Teh Botol Sosro.

Brand Loyalty dari Teh Botol Sosro juga kuat. Ini merupakan hasil dari pengembangan saluran distribusi, menjaga kualitas, dan strategi promosi yang dilakukan dengan jargon “apapun makanannya minumannya teh botol sosro”.

Hasil dari brand equity yang kuat ini telah dirasakan oleh Sosro yaitu memudahkan PT. Sinar Sosro untuk melakukan pengembangan pasar dengan mengenalkan produk Fruit Tea untuk kalangan muda dan Tebs untuk pengkonsumsi minuman berkarbonasi, selain itu PT. Sinar Sosro juga menikmati profit margin yang lebih besar, yang terlihat dari profit margin antara agen dan distributornya.

Kekuatan brand equity perlu dijaga agar jangan menjadi merek generic. Hal menarik untuk brand Teh Botol Sosro adalah arena justru penggunaan kata “Teh Botol” kemudian memberikan asosiasi pada Sosro sendiri, yang menjadi keunggulan dari brand ini, sehingga tidak menjadi merek generik. Selain itu kekuatan brand equity harus dijaga agar tetap bisa 
menghadapi kompetisi yang semakin ketat, karena ketika sebuah poduk dari sebuah produsen berhasil maka kemudian produsen lain akan mengeluarkan produk serupa. Hal ini terjadi pada munculnya teh dalam botol dari bermacam-macam produsen. Fenomena ini menjadi menarik, karena sebelum Sosro mengeluarkan produk teh dalam botol, sebuah perusahaan multinasional telah melakukan survey tentang potensi penjualan teh dalam kemasan di Indonesia dan hasil survey menyatakan bahwa potensi yang ada tidak cukup menjanjikan.

Dalam melakukan pengembangan brand PT. Sinar Sosro menerapkan beberapa strategi. Diantaranya adalah :

Line Extention dengan mengeluarkan produk Fruit Tea dengan pangsa pasar generasi muda, dan juga peluncuran produk Tebs untuk menarik minat pelanggan yang mengkonsumsi minuman berkarbonasi. Kedua produk ini dapat meraih sukses di pasar, terutama untuk produk Fruit Tea yang kemudian mulai menggerogoti pasar dari minuman berkarbonasi. Akibat dari itu, maka kemudian produk ini diikuti oleh Coca Cola yang merasa terancam dengan mengeluarkan produk Fruitcy. Kesuksesan produk ini adalah karena kekuatan saluran distribusi dari PT. SInar Sosro, dan dengan produk Fruit Tea dan Tebs sekali lagi PT. Sinar Sosro menghadirkan inovasi dan menjadi pioneer dengan menyajikan produk teh dengan rasa buah dan produk teh yang mengandung soda.

Brand Extention dengan meluncurkan produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dengan merek PRIMA. Untuk langkah ini ternyata kekuatan brand Sosro pada produk teh kurang dapat mengendors produk AMDK ini. Walaupun dengan dukungan saluran distribusi yang baik namun PRIMA tidak dapat merebut pasar AMDK yang sudah dikuasai oleh AQUA.

KESIMPULAN
Sebuah merek adalah asset yang sangat penting bagi perusahaan. Dengan memiliki brand equity yang kuat, sebuah perusahaan mendapatkan banyak keunggulan kompetitif. Untuk menghadapi persaingan di era perekonomian global peranan merek menjadi semakin penting. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman PT. Sinar Sosro dalam mengambangkan merek Teh Botol Sosro, sehingga hingga kini masih dapat menjadi market leader dalam criteria teh dalam kemasan, dan bahkan melahirkan merek-merek baru yang juga dapat bersaing dan berkompetisi di pasar bahkan dengan perusahaan multinasional sekalipun.

Sebagai marketer sudah menjadi sesuatu keharusan untuk menyadari arti pentingnya sebuah merek dan bagaimana agar dapat mengembangkan merek melalui penerapan holistic marketing dengan memperhatikan 9 elemen pemasaran yang menjadi unsure dari sebuah merek yang kuat.

Abuse Transfer Pricing

Perkembangan globalisasi telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Salah satu yang berkembang pesat seturut dengan proses globalisasi adalah sektor ekonomi. Maraknya perdagangan internasional dengan banyak pemain kelas dunia memicu perubahan pelaksanaan bisnis. Perubahan pelaksanaan bisnis dapat dilihat dari dua sisi, yaitu perubahan yang mengarah ke perbaikan dan juga perubahan yang mengarah ke pembelokan proses bisnis menjadi sebuah proses yang manipulatif dan memiliki kecenderungan merugikan kepentingan banyak pihak. Salah satu contoh dari perubahan proses bisnis yang menjadi tidak sehat adalak praktik transfer pricing.

Praktik transfer pricing adalah sebuah proses bisnis yang biasanya dilakukan oleh sebuah perusahaan holding yang bergerak dengan skala multinasional. Praktik transfer pricing dilakukan untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan induk. Proses transfer pricing dilakukan dengan memanipulasi catatan keuangan dengan menggunakan perusahaan-perusahaan dalam satu holding sebagai fasilitator. Praktik yang dilakukan pun melibatkan banyak negara sehingga menimbulkan kesulitan dalam melakukan proses pengusutan. Hal ini disebabkan karena tidak ada peraturan undang-undang internasional yang mengatur tentang dilakukannya praktik transfer pricing.
Praktik transfer pricing dapat dijadikan sebagai salah satu contoh perilaku tidak etis dalam dunia perpajakan, karena praktik transfer pricing dilakukan untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan induk salah satunya dengan cara menghindarkan pajak. Perilaku tidak etis dalam dunia perpajakan dapat terjadi ketika pelaku adalah wajib pajak maupun petugas pajak atau bahkan kedua pihak. Cara untuk menghindari pajak adalah dengan tidak melaporkan sesuatu sebagai obyek pajak, atau dengan melaporkan melalui manipulasi data.
Praktik transfer pricing melakukan penghindaran pajak dengan memanipulasi pencatatan keuangan.

Manipulasi catatan keuangan salah satu contohnya dilakukan dengan melakukan mark-up harga untuk supply yang didapat melalui invoice yang melewati beberapa perusahaan di beberapa negara(keuntungan bertingkat), yang menyebabkan harga supply didapat yang tercatat menjadi lebih mahal. Contoh ketika sebuah perusahaan induk yang berpusat di Jerman akan mengirimkan bahan baku untuk perusahaan manufaktur di Indonesia dengan nilai bahan baku sebesar Rp1.000,00. Ternyata perjalanan pencatatan bahan baku dari jerman tersebut melewati beberapa perusahaan, invoice pertama berasal dari perusahaan pertama yang berlokasi di China yang mendapatkan bahan baku dari perusahaan induk di Jerman dengan harga Rp1.000,00 dan kemudian “menjual” lagi dengan harga Rp1.500,00 kepada perusahaan di Vietnam, kemudian invoice kedua berasal dari perusahaan yang berlokasi di Vietnam yang “menjual” dengan harga Rp2.000,00 kepada perusahaan di Singapura, kemudian dalam pencatatan keuangan perusahaan yang berada di Indonesia mencatat pembelian bahan baku tersebut dari sebuah perusahaan di Singapura dengan harga Rp2.500,00, yang kemudian melakukan proses produksi dari bahan baku tersebut dan dijual di pasar Indonesia seharga Rp3.000,00. Sehingga dalam perjalanannya harga bahan baku mengalami peningkatan sebesar Rp1.500,00 dalam transaksi maya. Akibat dari peningkatan harga bahan baku 
tersebut maka perusahaan di Indonesia hanya dapat memberikan margin keuntungan yang kecil (Rp500,00), sehingga dapat menghindarkan pajak penghasilan bagi perusahaan induk.
Praktik penghindaran pajak lain yang dilakukan adalah dengan setoran modal dari perusahaan induk memiliki komposisi campuran antara ekuitas dan hutang, yang masing-masing memberikan beban kewajiban yang berbeda. Modal ekuitas memiliki beban kewajiban berupa deviden, sedang modal dengan bentuk hutang memiliki beban kewajiban dalam bentuk bunga. Bunga hutang dalam perhitungan pencatatan keuangan diperhitungkan sebagai pengurang beban pajak, sehingga dengan komposisi modal campuran dapat mengurangi jumlah pajak yang wajib dibayarkan.

Praktik penghindaran pajak memberikan efek negative bagi negara Indonesia, karena apabila dibiarkan secara terus menerus akan menyebabkan negara menderita kehilangan pendapatan pajak dengan jumlah yang cukup signifikan. Dari berkurangnya pendapatan pajak itu sendiri saja sudah akan memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi negara Indonesia, belum lagi dampak-dampak tidak langsung yang kemudian muncul seperti berkurangnya dana untuk pelayanan masyarakat, berkurangnya dana bantuan/ subsidi dari pemerintah. Selain dari penghindaran pajak kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Indonesia dari praktik semacam ini dapat dikatakan tidak sebanding, karena masyarakat Indonesia yang dalam kasus contoh ini juga diposisikan sebagai salah satu pasar target dari perusahaan holding tersebut hanya menjadi layaknya sapi perah yang tidak mendapatkan imbalan.